Perkembangan Penentuan Posisi untuk Pengadaan Jaring Kontrol Pemetaan di Indonesia


Ini tulisan saya tahun 2005. 
Insya Allah mengawali seri tulisan tentang survei dan pemetaan (surveying).

==========

Abstrak

Kegiatan  penentuan posisi yang menghasilkan jaring kontrol horisontal dan vertikal telah dilaksanakan di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Secara historis jaring kontrol pemetaan di Indonesia terbagi menjadi 3 kelompok yaitu jaring kontrol triangulasi, Doppler dan Global Positioning System (GPS). Pengadaan jaring kontrol pemetaan tersebut memiliki karakteristik yang spesifik seiring dengan perkembangan metode pengukuran dan teknologi peralatan survei yang ada.

Tulisan ini menguraikan secara singkat karakteristik dan sejarah jaring kontrol pemetaan di Indonesia. Selain itu untuk mengingatkan kembali tentang panjangnya perjalanan waktu  pengadaan jaring kontrol pemetaan tersebut dan “nilai” yang dimiliki, sehingga “semangat” dan upaya pemeliharaannya akan senantiasa dilakukan.



1.      Pendahuluan
Jaring kontrol pemetaan secara fisik di lapangan berupa tugu-tugu titik kontrol geodesi dengan bentuk dan dimensi tertentu yang ditanam secara permanen. Titik-titik kontrol ini terdiri dari titik kontrol horisontal dan titik kontrol vertikal.
Titik kontrol horisontal adalah titik di permukaan bumi yang memiliki informasi planimetris. Informasi planimetris tersebut merupakan posisi horisontal yang dinyatakan dengan lintang (φ) dan bujur (λ) pada bidang ellipsoid referensi tertentu. Sedangkan titik kontrol vertikal adalah titik di permukaan bumi yang diketahui ketinggiannya. Ketinggian titik dinotasikan dengan h dan dihitung terhadap geoid. Ellipsoid referensi sebagai bidang acuan titik kontrol horisontal dipilih berdasarkan kriteria kemiripan (paling mendekati) bentuk geoid (Soeprapto, 1992 a).

2.      Jaring Kontrol Horisontal
Metode penentuan posisi untuk pengadaan titik kontrol horisontal cukup beragam. Metode yang pernah dan sedang digunakan di Indonesia adalah metode triangulasi, metode Doppler dan GPS.

2.1.  Jaring Kontrol Triangulasi
Jaring kontrol horisontal dengan metode triangulasi digunakan selama beberapa abad. Dalam metode ini titik-titik kontrol horisontal didesain membentuk jaringan atau rangkaian segitiga. 

Pengukuran yang dilakukan berupa pengukuran 1 (satu) sisi sebagai basis,  azimuth salah satu sisi dan semua sudut dalam jaring segitiga tersebut. Sudut merupakan unsur utama dalam metode triangulasi, sehingga diupayakan seteliti mungkin sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan.  Dalam hal ini faktor alat ukur sudut yang digunakan dan pemberian bobot pada proses hitungan perlu mendapatkan perhatian (Soeprapto, 1992 b).
Indonesia merupakan negara dengan banyak pulau yang relatif kecil, sehingga sisi-sisi triangulasi utama hanya berkisar antara 30 s.d. 60 km. Untuk perbandingan, sisi triangulasi utama di India berkisar 150 s.d. 200 km dan 250 s.d. 500 km, sedangkan Amerika Serikat di kisaran 100 km.
Jaring Kontrol Triangulasi di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Junghuhn, seorang pegawai perusahaan perkebunan, pada tahun 1834 – 1848. Pengukuran dilakukan dari puncak-puncak gunung ke titik-titik yang lebih rendah di sekitar Bandung, Karawang dan pantai utara Jawa. Sedangkan pemerintah Hindia Belanda mengawali pekerjaan triangulasi di daerah Cirebon pada tahun 1854. Jaring kontrol triangulasi Jawa Barat selesai pada tahun 1870.
Jaring triangulasi Jawa Barat dilanjutkan ke Sumatera Selatan dengan melewati pulau Krakatau, Sangean dan Tabesi. Sedangkan triangulasi Cirebon dilanjutkan sampai ke Besuki dan Banyuwangi di Jawa Timur dengan melalui Tegal, Pekalongan dan Semarang di Jawa Tengah yang diselesaikan pada tahun 1874. Pengukuran jaring triangulasi pulau Jawa-Madura yang dipimpin Dr. Oudemans ini secara resmi diakhiri pada tahun 1880.
Tahun 1883 dibentuk Brigade Triangulasi sebagai bagian dari Dinas Topografi Militer yang dipimpin Dr. J.J.A. Mueller dengan tugas awal melaksanakan kegiatan pemetaan di Sumatera Barat. Tahun 1913 Brigade Triangulasi diberikan tambahan tugas berupa kegiatan survei geodesi di wilayah Hindia Belanda. Tugas tambahan tersebut diantaranya adalah pengadaan jaring triangulasi di Sumatera, Bangka, Sulawesi dan Sunda Kecil.
Jaring triangulasi Hindia Belanda memiliki sistem koordinat dan titik datum sendiri-sendiri. Hal ini disebabkan teknologi peralatan belum mampu menyatukan wilayah-wilayah yang berjauhan, sehingga jaring triangulasi tersebut dibagi menjadi :  (a) Triangulasi pulau Jawa-Madura yang dihitung berdasarkan datum gunung Genuk Jawa Tengah (P.520) yang diukur pada tahun 1854-1880 ; (b) Triangulasi pantai barat Sumatera dengan datum Padang (1883-1896) ; (c) Triangulasi Sumatera Selatan berdasarkan datum G.Dempo (1893-1909) ; (d) Triangulasi pantai timur Sumatera berdasarkan datum Serati (1907-1916) ; (e) Triangulasi kepulauan Sunda Kecil, Bali dan Lombok berdasarkan datum G.Genuk (1912-1918) ; (f) Triangulasi Sulawesi berdasarkan datum Monconglowe (1907-1916) ; (g) Triangulasi pulau Bangka berdasarkan datum Rimpuh (1917) ; (h) Triangulasi Aceh berdasarkan datum Padang (1931) ; (i) Triangulasi kepulauan Riau dan Lingga berdasarkan datum Rimpuh (1935) ; dan (j) Triangulasi Kalimantan Tenggara berdasarkan datum G.Segara (1933-1936).

Jaring triangulasi Jawa-Madura sejumlah 137 titik primer dan 723 titik sekunder, sedangkan jaring triangulasi Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya terdiri dari 144 titik primer, 161 titik sekunder dan 2659 titik sekunder. Pengadaan jaring triangulasi Sulawesi di bawah pimpinan Prof. Ir. J.H.G. Schepers menghasilkan 74 titik primer, 92 titik sekunder dan 1081 titik tersier.
Perbedaan datum tersebut sering menimbulkan keragu-raguan dan masalah. Datum dalam pengertian praktis didefinisikan sebagai titik awal dari suatu sistem perhitungan. Penetapan datum ditujukan untuk menentukan skala yang benar, bentuk, orientasi dan kedudukan bidang ellipsoid referensi terhadap geosenter. Oleh karena itu di luar kesalahan pengukuran, suatu titik yang dihitung dari datum yang berbeda akan menghasilkan informasi koordinat yang berlainan pula. Untuk itu jaring kontrol tersebut harus diintegrasikan dalam satu sistem, sehingga diperlukan transformasi satu datum ke sistem datum yang dipilih. Pada tahun 1931 dilakukan hitungan ulang untuk menyatukan 3 sistem triangulasi Sumatera (Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Timur) dengan sistem Jawa dan Nusa Tenggara. Dan pada akhir tahun 1938 sistem triangulasi Bangka dihubungkan dengan sistem Malaya (semenanjung Malaysia) melalui triangulasi Riau dan Lingga (Schepers, 1939 dalam Abidin dkk, 2002).
Pada saat Perang Dunia II tidak ada kegiatan penting yang dapat dicatat dalam pengadaan  jaring kontrol triangulasi. Dan pada tahun 1960 pengukuran jaring triangulasi dilanjutkan hingga pulau Flores oleh Dinas Topografi Angkatan Darat Republik Indonesia.
Pembuatan jaring kontrol triangulasi banyak menghadapi hambatan karena  adanya persyaratan intervisibility (saling terlihat) antar titik. Kondisi alam terutama cuaca dan keterbatasan kemampuan alat teodolit sangat berpengaruh pada hasil dan kecepatan pengukuran, sehingga jaring triangulasi tidak dapat disatukan terutama triangulasi antar pulau.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi tersebut mendorong pemerintah melakukan perbaikan dan penyempurnaan sejak PELITA I tahun 1969, sehingga teknologi yang lebih baru mulai dihadirkan. Tahun 1970 terbentuk kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia yang memanfaatkan teknologi EDM (Electronic Distance Measurement) dan Aerodist untuk menghubungkan sistem triangulasi Sumatera dengan triangulasi Riau-Bangka-Belitung. Selain itu juga dilakukan perluasan jaring triangulasi Kalimantan Barat dengan metode jaring poligon dan trilaterasi (Soeprapto, 1992 a).

2.2.  Jaring Kontrol Doppler
Tahun 1974 Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) mulai melakukan pengukuran titik kontrol horisontal dengan metode ekstraterestrial menggunakan teknologi satelit. Pada saat itu jasa satelit yang dimanfaatkan adalah NNSS (Navy Navigation Satellite System) yang lebih dikenal dengan nama satelit navigasi TRANSIT (Doppler). Metode penentuan posisi ini disebut dengan metode Doppler dan titik-titik kontrol yang dihasilkan dinamakan dengan titik Doppler.
Faktor penghambat dalam jaring kontrol triangulasi relatif dapat diatasi dengan metode Doppler. Syarat intervisibility antar titik kontrol tidak diperlukan lagi dalam metode ini, selain itu jangkauan tidak terbatas, faktor cuaca menjadi minimal dan kecepatan pengukuran meningkat drastis.  Pengukuran triangulasi antar puncak gunung dapat memakan waktu sampai berbulan-bulan, sedangkan metode Doppler hanya memerlukan waktu beberapa hari. Ketelitian metode Doppler berkisar antara 30 cm s.d. 1 meter untuk setiap kilometer rentang pengukuran.
Sampai akhir tahun 1986 telah tersebar 966 titik Doppler di wilayah Indonesia. Distribusi titik Doppler diantaranya meliputi Irian sejumlah 125 titik ; Maluku sebanyak 231 titik ; kepuluan sebelah barat Sumatera sebanyak 76 titik ; kepulauan timur Sumatera sejumlah 93 titik ; Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebanyak 231 titik ; Jawa, Bali dan Lombok sebanyak 79 titik.
Sebagian dari titik Doppler di Indonesia ditentukan dengan cara penentuan posisi titik (point positioning) yang menggunakan data orbit satelit teliti (precise ephemeris), sedangkan sebagian yang lain dengan metode translokasi yang menggunakan broadcast ephemeris (Abidin dkk, 2002). Hal ini mengakibatkan ketelitian jaring titik Doppler menjadi tidak homogen, meskipun jaring ini telah menyatukan Indonesia dalam satu sistem dan datum yang sama.
Metode Doppler juga banyak dimanfaatkan untuk penentuan batas negara seperti perbatasan Indonesia-Malaysia pada tahun 1979 sebanyak 40 titik dan perbatasan Indonesia-Papua Nugini pada tahun 1986 sebanyak 22 titik.

2.3.  Jaring Kontrol GPS
Teknologi penentuan posisi secara ekstraterestrial makin berkembang, dan dalam beberapa tahun terakhir sampai saat ini metode GPS merupakan pilihan yang paling banyak digunakan. Ketelitian metode GPS dapat mencapai 0,1 ppm untuk jarak 10 s.d. 1.000 km atau 0,1 mm per 1 km. Selain ketelitiannya lebih tinggi dari metode Doppler, metode GPS relatif lebih cepat waktu pengamatannya yang hanya membutuhkan waktu beberapa jam (Soeprapto, 1992 a).
Pemanfaatan teknologi GPS memungkinkan penentuan posisi horisontal di seluruh muka bumi, baik darat, laut maupun udara. Selain dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu singkat dengan ketelitian tinggi, juga tidak ada masalah dengan bidang ellipsoid sebagai acuan yang dipakai untuk hitungan φ dan λ.
Jaring kontrol horisontal menggunakan teknologi GPS ini diselenggarakan oleh Bakosurtanal mulai tahun 1989. Awal mulanya pengamatan satelit NAVSTAR-GPS (Navigation System Using Time And Ranging – Global Positioning System) ini dimanfaatkan untuk pemantauan gerak kerak bumi (geodinamika) di Sumatera. Tahun 1992 jaringan ini diperluas ke bagian timur Indonesia hingga Irian Jaya. Jaringan ini kemudian dikenal dengan Zeroth Order Geodetic Network in Indonesia (ZOGNI), yaitu suatu jaringan kontrol horisontal teliti yang homogen atau sering disebut dengan jaring kerangka Orde 0 (nol).
Kerangka dasar nasional orde 0 berjumlah sekitar 60 titik yang ditempatkan pada setiap ibukota provinsi serta kota-kota besar di sekitarnya. Kerangka dasar orde 0 ini selanjutnya dirapatkan dengan titik-titik GPS Orde 1 yang berjumlah sekitar 459 buah. Distribusi titik orde 1 meliputi setiap kabupaten di daerah-daerah yang bersangkutan. Selanjutnya kerangka orde 2 dan orde 3 sebagai densifikasinya diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). 
Bakosurtanal juga telah membangun jaringan stasiun tetap GPS yang beroperasi secara kontinyu selama 24 jam dengan receiver GPS tipe geodetik 2 frekuensi (Abidin dkk, 2002). Saat ini stasiun tetap GPS telah terdistribusi di pulau Sumatera,  Jawa, kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi dan Irian. Distribusi stasiun tetap GPS dan contoh pilar dalam 3 tipe dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Bakosurtanal, 2003).

3.      Jaring Kontrol Vertikal
Pengadaan jaring kontrol vertikal di Indonesia dimulai pada tahun 1925-1930 di Jawa Barat dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Jaring titik kontrol vertikal tersebut dikenal dengan nama titik-titik NWP (Primaire Naukeurigheids Waterpassing) yang mengambil rute sepanjang jalan-jalan raya sejauh 4.500 km. Pengukuran sipat datar teliti tersebut dilaksanakan oleh Dinas Topografi di bawah pimpinan Prof. Ir. J.H.G. Schepers dan telah berhasil membangun 2.083 titik tinggi. Acuan tinggi yang dipakai adalah permukaan laut rata-rata di Tanjung Priok yang diamati pada tahun 1926 (Datum Priok).
Sedangkan untuk daerah di luar pulau Jawa boleh dikatakan tidak ada pengukuran jaring kontrol vertikal secara sistematis. Beberapa pengukuran yang pernah dilakukan antara lain di Sulawesi Selatan sepanjang 418 km pada tahun 1928, Minahasa (Sulawesi Utara) sepanjang 182 km pada tahun 1925 dan pulau Bangka sepanjang 993 km pada tahun 1930.
Tahun 1957, 1958 dan 1961 Direktorat Topografi Angkatan Darat melakukan pengukuran jaring kontrol vertikal tambahan di beberapa daerah di pulau Jawa sepanjang 900 km dengan 180 titik tinggi (Mira, 1980 dalam Abidin dkk, 2002). Tahun 1980 baru dimulai lagi pengadaan jaring kontrol vertikal orde 1 (sipat datar teliti) untuk Jawa secara menyeluruh. Jaring titik kontrol ini sepanjang 4.700 km dengan 1.532 tugu titik tinggi (benchmark). Tahun 1987 jaring kontrol vertikal orde 1 dilanjutkan ke pulau Bali sebanyak 69 benchmark (BM). Sedangkan jaring kontrol vertikal orde 2 dilaksanakan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sampai akhir tahun 1990. Panjang jalur masing-masing 6.500 km, 2000 km dan 2.500 km.
Pengadaan jaring kontrol vertikal memang lebih lambat daripada jaring kontrol horisontal, mengingat masih digunakannya metode konvensional yaitu sipat datar yang cukup banyak menyita waktu dan tenaga. Tahun 1981 pernah dicoba pengukuran tinggi dengan metode motorized levelling. Metode ini sama dengan metode sipat datar, tetapi menggunakan 3 buah mobil untuk meletakkan alat sipat datar dan target. Kecepatan kerja dapat ditingkatkan sampai dengan 3-4 kali dibandingkan dengan sipat datar konvensional yang dilakukan dengan jalan kaki. Permasalahan terbesar yang dihadapi dalam metode ini adalah diperlukannya jalur jalan yang lebar dan mulus, sehingga relatif sulit diterapkan di daerah-daerah tertentu.
Tahun 1983 diterapkan pengukuran tinggi dengan metode trigonometric levelling menggunakan total station. Metode ini merupakan kombinasi pengukuran jarak elektronis dan pengukuran sudut vertikal. Meskipun sangat menguntungkan untuk daerah berbukit dan jalur jalan berkelok-kelok, metode ini dirasakan terlalu mahal selain hasilnya kurang teliti.
Teknologi GPS sebenarnya memungkinkan untuk pengukuran tinggi, namun belum menjadi jawaban yang memuaskan karena ketinggian titik direferensikan pada geoid, sedangkan ketinggian dengan GPS dihitung terhadap bidang ellipsoid referensi. Oleh karena itu masih diperlukan proses hitungan untuk mengkonversinya dengan data undulasi geoid yang memerlukan pengukuran lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka metode konvensional sipat datar masih menjadi pilihan terbaik untuk pengadaan jaring kontrol vertikal.

4.      Biaya Pengadaan Jaring Kontrol Pemetaan
Secara ekonomis biaya pengadaan titik triangulasi dan titik Doppler tidak lagi menjadi mahal jika menggunakan standar nilai uang saat ini. Namun secara umum titik-titik kontrol geodesi memiliki harga yang secara relatif tidak murah. Sebagai contoh Bakosurtanal menentukan tarif produk pengukuran dan pemetaan untuk survei geodesi sebagaimana tabel di bawah ini.


No
Produk
Satuan
Tarif (Rupiah)
1
Titik Tinggi Geodesi (TTG)
Titik
25.000,00
2
Global Positioning System (GPS)
Titik
25.000,00
3
Gaya Berat
Titik
25.000,00
4
Stasiun Tetap GPS
Hari
200.000,00
5
Daftar Stasiun Jaring Kontrol Horisontal Nasional
Buku
25.000,00
6
Klasifikasi, Standar Survei dan Spesifikasi Survei Kontrol Geodesi
Buku
25.000,00
7
Informasi Jaring Kontrol Vertikal Nasional Sumatera
Buku
25.000,00
8
Petunjuk untuk Operator Gaya Barat
Buku
25.000,00
9
Survei GPS
Hari
1.000.000,00
10
Survei GPS
Titik
500.000,00
11
Survei Sipat Datar
Km Lari
1.000.000,00
12
Survei Gaya Berat
Hari
1.000.000,00
13
Survei Gaya Berat
Titik
500.000,00
14
Fasilitas Data Prosessing Hasil Survei
Hari
1.000.000,00

Sumber : Bakosurtanal (2000)



5.      Manfaat Jaring Kontrol Pemetaan

Jaring kontrol pemetaan pada awalnya hanya untuk keperluan kerangka dalam pemetaan. Sejalan dengan perkembangan ilmu geodesi, maka titik-titik kontrol pemetaan tersebut memiliki fungsi yang semakin beragam. Salah satu kegunaannya adalah untuk kegiatan pemantauan deformasi kerak bumi maupun hasil budi daya manusia (misal : gedung, jembatan, bendungan dsb).
Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang mengalami pergerakan tektonik aktif, karena terletak di pertemuan 3 lempeng benua yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Jalur aktif tersebut terletak di lautan sebelah barat Sumatera, selatan pulau Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara. Dinamika gerakan lempeng dapat diukur berdasarkan titik-titik kontrol geodesi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk studi gempa bumi, mitigasi bencana, early warning system dsb.
Sistem pemantauan gerakan kerak bumi tersebut pada dasarnya tidak untuk menentukan koordinat absolut suatu titik, melainkan dengan mengamati posisi relatif antar stasiun pemantau berdasarkan waktu. Oleh karena itu diperlukan pengukuran secara periodik dengan ketelitian tinggi. Hal ini relatif tidak mungkin dipenuhi oleh teknologi triangulasi konvensional, apalagi dengan makin berkembangnya pemanfaatan teknologi GPS. Namun demikian titik-titik triangulasi Sumatera yang terletak di sepanjang pegunungan Bukit Barisan merupakan “monumen” yang sangat berharga, mengingat informasi koordinatnya digunakan untuk penelitian rentang patahan Sumatera.
Pada bulan Agustus s.d. September 1989 dilaksanakan Global Positioning System for Geodynamic Project in Sumatera (GPS-GPS). Proyek ini merupakan survei deformasi kerak bumi dengan pengamatan GPS di Sumatera Utara, Sumatera Barat termasuk kepulauan di sebelah barat Sumatera (Nias, Siberut, Pini dll) dan Riau yang mencakup luasan sekitar 400 km2. Pengamatan dilakukan pada 11 titik triangulasi, 7 titik Doppler dan 14 titik baru dengan 12 buah GPS Receiver. Pengamatan yang sama diulangi lagi pada bulan Juli s.d. Agustus 1990 pada stasiun-stasiun yang sama ditambah dengan beberapa stasiun triangulasi lainnya. Titik-titik kontrol horisontal dan vertikal juga berperan untuk survei deformasi skala kecil (bendungan, jembatan, bangunan purbakala dsb) yang dipantau pergeserannya secara horisontal maupun vertikal (Soeprapto, 1992 a).
Selain untuk pemetaan secara umum (kontrol geodetik) dan studi geodinamika, jaring kontrol geodesi tersebut juga dimanfaatkan dalam bidang geodesi global, navigasi dan geodesi kelautan (Abidin, 2001).

6.      Penutup
Sejarah panjang penentuan posisi  untuk pengadaan jaring kontrol pemetaan di Indonesia seharusnya tidak hanya menjadi “cerita” dalam literatur dan buku-buku pengukuran dan pemetaan, melainkan perlu ada kesadaran tentang “nilai” tugu titik-titik kontrol tersebut secara ekonomis maupun non ekonomis.
Nilai tersebut diterjemahkan dalam kerangka historis juga pemanfaatan lebih lanjut untuk pengembangan fungsi titik-titik kontrol geodesi. Pengembangan fungsi ini tidak terbatas sebagai jaring kontrol pemetaan, tetapi juga dalam rangka pemanfaatan di bidang lainnya. Penggunaan titik-titik kontrol horisontal dan vertikal  secara lintas sektoral akan mendorong upaya pemeliharaan yang lebih sinergis.

7.      Pustaka

Abidin, H.Z. (2001) . Geodesi Satelit , Jakarta : Pradnya Paramita.
Abidin, H.Z. ,  A.Jones and J.Kahar (2002) . Survei dengan GPS , Jakarta : Pradnya Paramita.
Bakosurtanal (2000). Survei Geodesi , http://www.bakosurtanal.go.id/.
__________  (2003). Geodesi dan Geodinamika , http://www.bakosurtanal.go.id/.
Soeprapto (1992 a) . Pengantar Survei Geodesi , Yogyakarta : Jurusan Teknik Geodesi FT UGM.
_______ (1992 b) . Metode Penentuan dan Hitungan Titik Kontrol Horisontal ,  Yogyakarta : Jurusan Teknik Geodesi FT UGM.

Share this

Add Comments


EmoticonEmoticon