Syarat Sudut pada Poligon Terbuka Terikat Sempurna


Ini tulisan saya yang ke-2 dalam label "surveying".
Secara khusus membahas Poligon Terbuka Terikat Sempurna.
Bisa jadi tidak kronologis, tapi saya berharap ada manfaatnya.
==========

1.      Pendahuluan

Pada tahun 1995 Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) telah menetapkan adanya sistem referensi nasional dalam kegiatan pemetaan untuk seluruh wilayah Indonesia yang disebut dengan Datum Geodesi Nasional Tahun 1995 (DGN 95). Menindaklanjuti ketentuan tersebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) menetapkan adanya sistem koordinat nasional untuk kegiatan pemetaan di lingkungannya yaitu dalam sistem proyeksi Transverse Mercator 3º (TM-3º). Upaya tersebut diawali dengan pemasangan kerangka kontrol horizontal sebagai jaringan titik ikat pemetaan bidang-bidang tanah. Kegiatan pengukuran kerangka kontrol horizontal oleh BPN menghasilkan distribusi Titik Dasar Teknik (TDT) dalam Orde 2, Orde 3 dan Orde 4 yang merupakan perapatan dari TDT Orde 0 dan Orde 1 yang dipasang oleh Bakosurtanal. Pengadaan TDT Orde 2 dan 3 dilaksanakan dengan pengukuran Global Positioning System (GPS), sedangkan TDT Orde 4 dengan metode poligon.

Metode Poligon merupakan metode terestris yang paling fleksibel untuk diterapkan pada berbagai bentuk daerah dan kondisi topografi medan. Berbagai metode penghitungan dapat digunakan dalam penghitungan koordinat poligon. Salah satu yang paling banyak dimanfaatkan adalah metode Bowditch karena kesederhanaannya dalam penentuan koordinat kerangka kontrol horizontal. Penghitungan Metode Bowditch menggunakan 2 kontrol hitungan yaitu kesalahan penutup sudut dan kesalahan penutup jarak (kesalahan jarak linier). Dalam kaitannya dengan kesalahan penutup sudut, salah satu keunikan sekaligus “kesulitan” untuk juru ukur dari poligon terbuka terikat sempurna adalah adanya kemungkinan penerapan berbagai rumus penghitungan syarat sudutnya.

Tulisan ini akan membahas variasi rumus penghitungan syarat sudut pada poligon terbuka terikat sempurna, kondisi yang memungkinkan munculnya rumus-rumus tersebut dan konversi antar kondisi untuk menghasilkan satu rumus saja.


2.      Poligon

Poligon sering diartikan sebagai segi banyak. Dalam beberapa buku teks  juga dijumpai istilah traverse yang diartikan sama dengan poligon. Syaifullah (2007) menyampaikan beberapa definisi poligon ataupun tulisan yang berkaitan dengan poligon. Poligon maupun traverse merupakan dua istilah yang identik. Bentuk poligon adalah bentuk traverse, metoda poligon adalah metoda traverse, pengukuran poligon adalah pengukuran traverse.

Dalam Petunjuk Teknis Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Materi Pengukuran dan Pemetaan Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa metode poligon digunakan untuk pengukuran TDT Orde 4 dan TDT Perapatan. Jenis poligon yang bisa digunakan adalah :

  • Poligon Terikat (tidak membentuk loop) yang terikat di titik awal dan titik akhir

  • Poligon Terbuka Terikat Sempurna (tidak membentuk loop) yang terikat pada 2 (dua) titik yang saling terlihat pada awal jaringan dan 2 (dua) titik yang saling terlihat pada akhir jaringan

  • Poligon Tertutup hanya dilakukan bila pada jaringan poligon tersebut ditemui 2 (dua) titik ikat yang telah diketahui koordinatnya

  • Poligon Tertutup yang membentuk lebih dari 1 (satu) loop




Penghitungan koordinat pada keempat jenis poligon di atas dilakukan pada formulir hitungan koordinat poligon (Daftar Isian 104) yang pada dasarnya mengacu pada tabel umum penghitungan poligon dengan metode Bowditch di bawah.

3.      Penghitungan Koordinat Poligon dengan Metode Bowditch

Penghitungan koordinat poligon dengan metode Bowditch biasanya dilakukan dengan menggunakan tabel hitungan sebagai berikut :

No Titik
Sudut
kS
Azimuth
Jarak
D sin α
kX
D cos α
kY
Koordinat
X
Y














































Penjelasan dari penggunaan tabel hitungan di atas  adalah :

  1. Mencatat data ukuran sudut rerata dan jarak rerata (Si dan Di) pada kolom sudut dan jarak, tentunya data telah bebas dari kesalahan kasar dan sistematis.
  2. Menghitung jumlah sudut ( ΣS ) sesuai dengan keperluan (poligon tertutup dengan sudut dalam/luar maupun sudut pada poligon terbuka).
  3. Menghitung kesalahan penutup sudut ( fS ) dengan mencari selisih ΣS dengan syarat sudut sesuai keperluan pada butir 2. Jika nilai fS memenuhi toleransi yang dipersyaratkan maka Si dikoreksi dengan rumus Si ± kS .
  4. Menghitung azimuth tiap sisi menggunakan Si terkoreksi dengan acuan azimuth awal pada poligon tertutup atau azimuth awal dan azimuth akhir pada poligon terbuka.
  5. Menghitung jumlah jarak ( ΣD ).
  6. Menghitung Di sin αi dan Di cos αi .
  7. Menghitung Σ Di sin αi dan Σ Di cos αi.
  8. Menghitung kesalahan penutup absis (fX) dan kesalahan penutup ordinat (fY) sesuai dengan keperluan pada butir 2 untuk memperoleh nilai kesalahan penutup jarak linier (fL). Jika nilai fL memenuhi toleransi yang dipersyaratkan maka dikoreksikan pada setiap nilai D sin α dan D cos α dengan rumus Di sin αi ± kXi dan Di cos αi ± kYi
  9. Menghitung koordinat setiap titik poligon (X dan Y) menggunakan Di sin αi terkoreksi dan Di cos αi terkoreksi dengan acuan titik referensi/titik ikat yang ada.

Untuk keperluan penentuan koordinat TDT Orde 4 jarak ukuran pada butir 5 harus dikoreksi terlebih dahulu menjadi Jarak di Ellipsoid Referensi  dan selanjutnya dikonversi menjadi Jarak di Bidang Proyeksi.

Sebagaimana disampaikan di awal, penghitungan poligon dengan metode Bowditch menggunakan 2 kontrol hitungan yaitu kesalahan penutup sudut (fS) dan kesalahan penutup jarak linier (fL). Penghitungan kesalahan penutup sudut pada poligon terbuka terikat sempurna terkadang menjadi kesulitan tersendiri bagi juru ukur karena adanya kemungkinan penerapan berbagai rumus penghitungan syarat sudutnya.


4.      Beberapa Rumus Syarat Sudut pada Poligon Terbuka Terikat Sempurna

Bagian ini memaparkan beberapa variasi rumus syarat sudut pada poligon terbuka terikat sempurna yang tergantung pada azimuth awal (αawal), azimuth akhir (αakhir) dan sudut mana yang diukur (Si ). Notasi n adalah jumlah sudut yang diukur.

A.  KONDISI 1



B. KONDISI 2 

C. KONDISI 3 dan 4

D. KONDISI 5

E. KONDISI 6

F. KONDISI 7 dan 8



5.      Penutup

Rumus syarat sudut pada poligon terbuka terikat sempurna tergantung dari azimuth awal (αawal), azimuth akhir (αakhir) dan sudut mana yang diukur (Si ). Sebelum melakukan penghitungan sebaiknya terlebih dahulu memperhatikan sketsa lapangan untuk memperoleh informasi secara menyeluruh dari konfigurasi poligon.
Pada dasarnya variasi rumus syarat sudut di atas belum seluruhnya ditampilkan karena masih ada beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi, tergantung pada bentuk-bentuk geometri poligon terbuka terikat sempurna yang dibuat.


6.      Referensi

1.      ---------------- (1998). Petunjuk Teknis Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Materi Pengukuran dan Pemetaan Pendaftaran Tanah, Badan Pertanahan Nasional.
2.      Davis, R.E. et al (1981). Surveying Theory and Practice, McGraw-Hill Book Company, New York.
3.   Bimasena, AN. (2005). “Perkembangan Penentuan Posisi untuk Pengadaan Jaring Kontrol Pemetaan di Indonesia”, Widya Bhumi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2005, Yogyakarta.
4.   Syaifullah, Arief. (2007). “Metode Poligon dan Permasalahannya” Widya Bhumi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Nomor 22 Tahun 8, Juli 2007, Yogyakarta.






Share this

Add Comments


EmoticonEmoticon